Skip to content

‘Republik Buku’ Yogya

May 14, 2020

Hairus Salim HS

Sejak hampir dua dekade ini, ketika saya berpergian ke luar kota, lebih-lebih ke luar Jawa, saya sering membawakan buku sebagai oleh-oleh kepada teman yang ada di kota tersebut. Kadang saya juga dititipi oleh teman untuk membawakan buku A atau buku B ketika mereka tahu saya akan bertandang ke kota mereka. Tersebab di kota ini buku-buku yang dimaksud mudah didapatkan, dan juga murah. Buku sebagai oleh-oleh sudah lama menjadi fenomena orang yang bepergian dari Yogya.

Karena itu cukup masuk akal jika ada yang menjuluki Yogya sebagai ‘Ibukota buku’. Jauh lebih masuk akal daripada sebagai Kota Sepeda yang telah menjadi masa lalu atau kota budaya karena pengertiannya yang abstrak. Pada kenyataannya di kota ini banyak penerbit dan toko buku, kegiatan-kegiatan perbukuan serta tentu saja orang-orang yang hidup berkaitan dengan buku. Baik sebagai penyangga utama ekonomi maupun sebagai pelengkap seperti para penulis, penerjemah, penyunting, desainer grafis, layouter, distributor dan lain-lain.

Jadi pertanyaan, sejak kapan sebenarnya dan bagaimana Yogya menjadi ibukota buku ini?

Tilikan Historis

Kalau kita menengok ke belakang, kita akan tahu bahwa terbentuknya Yogya sebagai ibukota buku adalah fenomena dalam dua dekade terakhir ini (baca Adhe, Daclare: Kamar Kerja Penerbit Jogja [1998-2007], Octopus 2016). Sebelumnya kota yang kuat dengan tradisi bukunya, yakni sebagai kota dengan banyak penerbitnya, atau memiliki penerbit dengan buku yang berkualitas dan tersebar luas se-indonesia adalah Medan, Padang, Bandung, dan Surabaya, di samping Jakarta sendiri.

Medan misalnya sejak tahun 1940an akhir hingga ujung 1950an terkenal dengan banyak penerbit dan penulis. Bahkan diyakini separo dari buku yang beredar di Indonesia pada tahun 1950an itu dicetak di Medan. Buku-buku terbitan Medan kerap disebut sebagai ‘buku-buku picisan’ atau ‘roman picisan’ karena itu Medan disebut sebagai ‘ibukota roman picisan.’ Ini adalah suatu ejekan, karena mutunya dianggap rendah. Tetapi seperti ditunjukkan oleh Marije Plomp (“Pusat Roman Picisan dan Pusat-pusat yang Lain: Kehidupan Budaya di Medan 1950-58,” 2011), penilaian negatif atas terbitan buku-buku dari Medan pasca Perang Dunia II ini berasal dari pandangan Belanda sebelum perang. Ketika itu, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan penerbitan Pustaka, yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Penerbitan di luar milik Negara itu dianggap sebagai ‘sastra liar’, ‘tak terkendali’, yang ditulis tidak berdasarkan ‘kaidah-kaidah’ sastra yang diterapkan. Namun jelas penetapan standar ini lebih mengacu pada kepentingan kolonial. Kenyataannya karya Hamka, menunjuk sebagai salah seorang pengarang Medan ini, kemudian diterbitkan juga oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya sendiri seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wick dan Merantau ke Deli misalnya, awalnya terbit di kota ini.

Pusat lain mungkin Padang. Tak banyak penerbitan di kota ini, tetapi tahun-tahun itu –hingga sekarang—kawasan ini adalah produsen para penulis handal. Salah satu penerbitan yang terkenal dari kota ini pada tahun-tahun itu adalah NV. Nusantara. Beberapa karya sastra dari para penulis dari Pulau Jawa bahkan diterbitkan di kota ini. Kumpulan cerpen Subuh karya Pramoedya Ananta Toer dan Umi Kulsum karya Djamil Suherman misalnya diterbitkan oleh NV Nusantara ini.

Yogyakarta tak banyak disebut pada periode tersebut hingga setidaknya akhir 1980an. Dalam sebuah buku yang diterbitkan untuk mengiringi pameran buku tahun 1954 –yang menurut penelusuran saya–  merupakan pameran buku pertama setelah Indonesia merdeka, termuat daftar penerbit dan toko buku di berbagai kota di seluruh Indonesia. Di Yogyakarta tercatat ada 31 penerbit dan 49 toko buku. Masih kalah dibanding misal Medan 49 penerbit dan 80 toko buku, Bandung 42 penerbit dan 63 toko buku, dan Surabaya 40 penerbit dan 75 toko buku. Artinya Yogyakarta bukan tiga besar sebagai kota buku. Ini belum memasukkan Jakarta dengan 176 penerbit dan 136 toko buku. Dari segi jumlah penerbit dan toko buku ini Yogyakarta selevel dengan Makassar, Palembang, Malang, Surakarta, Bukittinggi, Semarang, Purwokerto, dan Banjarmasin (Pekan Buku Indonesia, 1954, NV Gunung Agung, Jakarta).

Memasuki Orde Baru, penerbitan buku mengikuti kecenderungan sosial-politik, mengalami sentralisasi. Produksi dan peredaran buku seperti juga ekonomi menjadi terpusat di Jawa, terutama Jakarta, Bandung, Solo dan Surabaya. Bandung misalnya terkenal dengan beberapa penerbit buku, baik buku teks maupun buku umum dengan nama-nama penerbit seperti Angkasa, Tarso, Alma’arif, Iqra, Pustaka, Rosdakarya hingga yang paling terkenal muncul di tahun 1980an hingga kini adalah Mizan. Sementara Surabaya dan Solo dari dulu terkenal dengan penerbitan buku-buku teks dn buku keagamaan (Islam) yang konvensional seperti yang dikeluarkan oleh penerbit Tiga Serangkai dan Bina Ilmu, untuk menyebut beberapa. Model penerbit seperti ini di Yogyakarta adalah Kota Kembang, yang seperti namanya menunjukkan sebenarnya adalah usaha penerbit dari Bandung yang pindah ke Yogyakarta pada akhir 1970an.

Menjelang jatuhnya Orde Baru pada periode 1990an dan awal reformasi muncul semangat pencarian baik secara intelektual maupun politik dari berbagai individu maupun kelompok masyarakat. Protes dan ketidakpuasan pada situasi politik disertai dengan tawaran berpikir alternatif. Dalam konteks inilah, hadir sejumlah buku alternatif yang dikeluarkan oleh penerbit-penerbit seperti Bentang Budaya, LKiS, Jendela dan Insist. Buku-buku mereka umumnya dicetak tidak terlalu banyak, tetapi karena sifat alternatifnya, maka pengaruh sosial-politik dan kebudayaannya sangat luas. Barangkali dari periode inilah geliat buku-buku penerbit Yogya itu berawal.

 

Buku nonindustrial

Apa yang menarik dari sekadar cerita ini, Yogyakarta sebenarnya “tak pernah benar-benar” merupakan ibukota buku jika standarnya adalah industri. Penerbitan buku Yogya dikelola oleh beberapa orang atau komunitas dan bekerja seperti industri rumahan. Sifat penerbitan Yogya ‘pada awalnya’ adalah suatu bentuk perlawanan dan buku merupakan bagian dari gerakan. Bahwa ia bisa menghidupi asap dapur para pelakunya itu soal lain, meski faktor ekonomi ini tetap kecil karena sekali lagi penerbit Yogya tidak pernah benar-benar bisa dan mampu menjadi industri. Dua hingga duapuluhlima produk penerbitan Yogya dari segi kuantitas mungkin tak akan bisa menandingi produk Gramedia, Jakarta atau Mizan, Bandung, misalnya. Jika tidak dari segi kuantitas merupakan produsen buku, maka dari segi apa Yogya mendapat julukan ibukota buku? Jawabannya adalah buku di Yogya merupakan produk budaya dan merupakan matarantai dari banyak kegiatan budaya.

Penerbit-penerbit buku Yogya pada dasarnya adalah penerbit gurem, namun memiliki julukan sangar seperti penerbit koboi, penerbit alternative, atau penerbit indie. Ini karena mereka selain menawarkan tema-tema buku wacana yang sebelumnya tak banyak disentuh baik karena alasan politik maupun komersial, juga cara-cara kerja penerbitan yang tidak konvensional seperti dalam soal distribusi dan pandangan mengenai izin penerbitan. Mereka tidak terlalu peduli dengan copy rights dan lebih merasa memiliki rights to copy. Tentu tidak semua penerbit Yogya seperti ini.

Sebagian besar penerbit ini tidak memiliki badan hukum dan juga bukan anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), organisasi para penerbit Indonesia sejak zaman baheula. Dengan ini, kelihatan pola kerjanya sebagai gerakan budaya daripada usaha komersial. Mereka umumnya tidak ikut proyek-proyek buku yang diadakan pemerintah dan tetap memilih menerbitkan buku yang mereka anggap penting secara politik dan kultural, meski lakunya hanya ratusan ekslempar. Penerbitan buku Yogya, kalau kita cermati, sebenarnya adalah kegiatan kaum muda yang masih belum tercemari hasrat kemapanan.

Sebagai gerakan, buku-buku di Yogyakarta terhubung dengan kuat dengan kegiatan akademis kampus yang prinsip dasarnya berpikir kritis dan kalangan NGO yang kadang dalam beberapa hal lebih cepat mengakses pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru dalam pengembangan masyarakat. Buku-buku di Yogyakarta juga terkait dengan kegiatan-kegiatan kesenian seperti seni rupa, teater, musik, dan sastra. Di dalam bahasa lain, buku-buku yang jumlahnya tak banyak itu telah jatuh ke pembaca yang tepat, yaitu para akademisi, aktivis NGO, dan seniman-penulis, yang menerapkannya dalam aksi keseharian dan kemudian menyebarkannya secara luas, bahkan ke luar Yogyakarta. Sebagian besar komunitas ini menempatkan riset sebagai bagian penting dari kegiatannya. Di sini buku menjadi landasan sekaligus medium gerakan budaya.

Dengan demikian, buku berada dan merupakan bagian dari ekosistem intelektual yang lebih luas. Penerbit, toko buku, perguruan tinggi, perpustakaan, LSM, media, komunitas kesenian, ruang-ruang budaya, perpustakaan, rumah baca adalah suatu ekosistem yang saling terkait dan terhubung, saling menghidupi dan memberi. Penulis, akademisi, aktivis NGO, seniman, pengelola penerbitan, pemilik kafe, penerjemah, peneliti, penyelenggara kegiatan budaya, saling bertemu dan bertukar pikiran. Buku dan pesona pemikiran di dalamnya menjadi basis dan alat komunikasi yang utama.

Tak heran kalau dengan ini kegiatan-kegiatan literasi seperti bedah atau diskusi buku hampir selalu ada setiap hari di Yogyakarta. Mulai perguruan tinggi, LSM, komunitas-komunitas anak muda di berbagai bidang, kafe dan warung kopi hingga jamaah keagamaan, menggelar diskusi dan bedah buku. Workshop-workshop penulisan berlangsung tiada henti. Mulai yang gratisan hingga berbayar. Pengkajian dan penelitian topik-topik kebudayan dan politik terus berjalan sebagai dapur ide.

Para penerbit ini juga menggelar pameran sendiri, yang unik dan menarik, seperti Kampung Buku Jogja (KBJ) yang tiga tahun ini rutin berlangsung.  Juga Mocosik, sebuah ajang musik dan buku, di mana tiket masuk untuk menonton pertunjukan adalah membeli buku, yang April 2018 ini akan digelar untuk kedua kali. Juga acara rutin dalam beberapa tahun terakhir seperti Tahun Baru di JBS (jual buku sastra) yang menggelar rangkaian diskusi sastra dan workshop menulis. Serta Booklovers Festival yang digelar Radio Buku untuk mempertemukan para penggemar buku dan seniman. Ini sekadar untuk menyebut beberapa dan belum termasuk yang digelar kampus, LSM, dan komunitas lain secara insindental.

Hal yang mungkin menakjubkan adalah kebanyakan kegiatan ini digelar secara independen dan berbasis kesukarelaan. Sedikit dan kecil sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, subsidi pemerintah.

Sekali lagi buku di Yogya merupakan produk budaya dan merupakan matarantai dari banyak kegiatan budaya. Dan karena itulah ia pantas disebut ‘ibukota buku’, bahkan ‘republik buku’, sebuah Negara kota buku yang dibangun, dikembangkan, dan dihidupi oleh anggota-anggotanya masyarakat sipil, dengan berbagai kegiatan literasi, yang independen, bebas, dan kuat, dan tidak bergantung pada keberadaan Negara.

Tulisan ini diterbitkan dalam Buletin Jendela, Taman Budaya Yogyakarta, 2018

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Comment

Leave a comment