Skip to content

Soejatmoko, Ulat Buku, dan Pengetahuan

Semasa mahasiswa awal, saya sering membaca tulisan-tulisan Soejatmoko (1922-89). Saya tidak tahu persis mengapa Soejatmoko? Mungkin karena pengaruh beberapa senior waktu itu yang juga senang membaca Soejatmoko. Mungkin juga karena Soejatmoko waktu itu sedang trend. Dan saya mengikuti trend itu.

Tulisan-tulisan Soejatmoko diterbitkan oleh LP3ES, sebuah NGO besar sekaligus penerbit buku-buku berkualitas. Nama LP3ES adalah jaminan mutu. Semua buku yang mereka terbitkan disambut dan dibaca oleh kalangan mahasiswa, dosen, peneliti dan intelektual masa itu.

Soejatmoko adalah cendikiawan humanis. Ia anak seorang dokter zaman Belanda. Sebelumnya ia seorang politisi dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan lingkaran utama Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia pernah menjadi anggota konstituante dan Dubes Indonesia di Amrik. Terkenal sebuah fotonya yang muda ganteng menemani Sjahrir dalam sebuah acara sidang di PBB. Menjelang Orde Lama runtuh ia meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia intelektualitas. Tentu saja ini tidak serta merta. Ia mempunyai jejak panjang karena pernah menjadi redaktur beberapa majalah budaya yang penting di tahun 1950an.

Yang menarik, ia tak memiliki sebiji pun gelar akademis. Gelar doktornya yang sering diterakan di depan namanya adalah gelar honoris causa dari beberapa universitas luar negeri. Meski tak menyelesaikan jenjang akademis, ia sangat dihormati di kalangan para cendikiawan. Dalam bagian dari biodata singkatnya, ditulis dengan mentereng kedudukannya sebagai “Rektor Universitas PBB”, Tokyo, Jepang.
Read more…

‘Republik Buku’ Yogya

Hairus Salim HS

Sejak hampir dua dekade ini, ketika saya berpergian ke luar kota, lebih-lebih ke luar Jawa, saya sering membawakan buku sebagai oleh-oleh kepada teman yang ada di kota tersebut. Kadang saya juga dititipi oleh teman untuk membawakan buku A atau buku B ketika mereka tahu saya akan bertandang ke kota mereka. Tersebab di kota ini buku-buku yang dimaksud mudah didapatkan, dan juga murah. Buku sebagai oleh-oleh sudah lama menjadi fenomena orang yang bepergian dari Yogya.

Karena itu cukup masuk akal jika ada yang menjuluki Yogya sebagai ‘Ibukota buku’. Jauh lebih masuk akal daripada sebagai Kota Sepeda yang telah menjadi masa lalu atau kota budaya karena pengertiannya yang abstrak. Pada kenyataannya di kota ini banyak penerbit dan toko buku, kegiatan-kegiatan perbukuan serta tentu saja orang-orang yang hidup berkaitan dengan buku. Baik sebagai penyangga utama ekonomi maupun sebagai pelengkap seperti para penulis, penerjemah, penyunting, desainer grafis, layouter, distributor dan lain-lain.

Jadi pertanyaan, sejak kapan sebenarnya dan bagaimana Yogya menjadi ibukota buku ini?

Read more…

“Sekadar Melihat” atau “Melihat Ke dalam”: Catatan Sesrawungan1 Wang Sinawang

Hairus Salim HS

Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM menyelenggarakan acara Sesrawungan1 Wang Sinawang, yang berlangsung di PPKH sejak 16 – 30 November. Dalam kegiatan ini mereka mengundang dan melibatkan komunitas-komunitas keagamaan: khat (khilafah art networks), sebuah kelompok seni yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI); Seni Rupa Kristen Indonesia (Seruni), sebuah kelompok para perupa Kristen-Katolik; Narayana Smrti Ashram, sebuah kelompok Hindu yang memuja Krishna; Konghucu; Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit, kelompok seni Katolik yang berbasis kampung; dan Budha Meitriya, suatu aliran di dalam agama Budha. Kelompok-kelompok ini diajak menggelar pameran, pertunjukan dan diskusi, selama beberapa hari.

Read more…

Pameran 17:71: Menelusuri Jejak Nasionalisme Antikolonial

Hairus Salim HS

Menonton pameran 17-71 adalah menyelami bagaimana sosok proklamator Bung karno demikian mencandui karya-karya seni rupa dan mengolahnya menjadi perlawanan antikolonial. Benar belaka lontaran banyak kalangan bahwa kolektor sekaliber apapun di Indonesia sekarang dan sampai kapanpun hanya akan menduduki peringkat dua, karena tahta nomor satunya sudah abadi diduduki Sukarno.

Demikianlah, melalui pameran 17-71 yang digelar Galeri Nasional bekerjasama dengan Sekretariat Negara pada 2-30 Agustus lalu, khalayak bisa menyaksikan beberapa lukisan yang telah dihimpun Sukarno dan kemudian dipajang di dinding istana. Setiap kali tamu Negara berkunjung, Sukarno akan membanggakan dan menjelaskan makna lukisan-lukisan tersebut. Foto-foto dokomentasi menunjukkan bagaimana Sukarno menggelar acara dan berfoto di depan lukisan-lukisan tersebut. Memang hanya 28 lukisan dari 21 perupa, belum 10%nya dari koleksi istana, tapi peristiwa ini telah menggenapi rasa penasaran mengenai koleksi karya rupa istana yang kini menjadi kekayaan ‘pusaka budaya’.

Read more…

Khitah, Islah, Tabayun, dan NU

Hairus Salim HS

(Versi Lengkap dari yang dimuat di Koran Tempo, Senin, 3 Agustus 2015)

Teman saya baru-baru ini kirim peran singkat. “Besok saya pulang ke kampung. Saya mau kembali ke khittah saja. Pamit. Mohon doanya.” Yang dia maksud kembali ke khittah (dengan huruf ‘t’ ganda) adalah menjadi pedagang sebagaimana tradisi keluarganya dan meninggalkan profesi penulis yang selama beberapa tahun terakhir digeluti.

Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952) belum memasukkan kata khitah ini. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) sudah memasukkannya dengan mengartikan khitah sebagai: 1 cita-cita; 2 langkah; rencana; 3 tujuan dasar; garis haluan; landasan perjuangan; kebijakan.Jadi dari mana dan bagaimana riwayat kata ini masuk ke perbendaharaan Bahasa Indonesia? Bisa jadi kata ‘khitah’ masuk ke perbendaharaan Bahasa Indonesia atas ‘sumbangan’ NU secara tidak sengaja melalui dinamika organisasinya yang mendapat liputan media. Read more…

Wawasan Jurnalis Indonesia: Tawaran Perbincangan

Bahan perbincangan dengan anggota baru AJI

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku bertajuk Jurnalisme dan Politik di Indonesia (YOI, 2011) karya David T. Hill, seorang indonesianis penting asal Australia. Buku ini adalah biografi kritis terhadap perjalanan hidup, pemikiran, sepak terjang, dan perjuangan Mochtar Lubis (alm.), seorang jurnalis dan pengarang Indonesia terkemuka pada zamannya.

Mochtar Lubis dikenal sebagai jurnalis yang berjihad melalui media mengkritik rezim penguasa, baik pada masa Orde Lama maupun pada masa Orde Baru. Ketegaran, ketegasan, dan keberaniannya dalam mengkritik penyalahgunaan kekuasaan mengantarnya dua kali ke bilik penjara, masing-masing pada akhir kekuasaan Sukarno dan terulang pada masa-masa awal kekuasaan Suharto. Serentak dengan itu juga koran yang dipimpinnya Indonesia Raya dibreidel. Read more…

Blusukan

Catatan: sekitar 6 bulanan setelah Jokowi menjabat Gubernur DKI, saya membuat tulisan sederhana ini. Saya kirim ke sebuah media, tapi tak ada kabar alias tidak dimuat.

Joko Widodo (Jokowi), mantan walikota Solo, yang kini menduduki kursi nomor 1 DKI melesat sebagai tokoh nasional. Bersamanya juga melesat sebuah kata Jawa: ‘blusukan.’ Jokowi terkenal dan dielu-elukan di antaranya karena kegiatan ‘blusukan’-nya. Sedemikian memesonanya blusukan ini, bahkan Presiden SBY pun disebut-sebut meniru kegiatan blusukan ala Jokowi ini. Read more…

Menuju Jurnalis sebagai Cendikiawan

Hairus Salim HS, Penulis dan salah seorang pendiri AJI Jogjakarta

Orasi Budaya pada Hari Kebebasan Pers, 3 Mei 2014, di Bentara Budaya, yang diselenggarakan oleh AJI Jogjakarta.

 

Ass. Selamat malam dan salam sejahtera utk kita semua.

 

Yang terhormat Ketua AJI Jogjakarta dan teman-teman jurnalis, aktivis, dan mahasiswa.

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat Hari Kebebasan Pers kepada semua teman jurnalis. Semoga kebebasan dan jaminan keamanan bagi jurnalis semakin membaik dan meningkat, serta tidak akan ada lagi kekerasan pada jurnalis, dan dengan atmosfir itu semua jurnalis makin berperan dlm membentuk masyarakat yang demokratis, damai, adil dan sejahtera.

 

Kawan-kawan sekalian. Para jurnalis idealis mungkin seperti makhluk alien sekarang ini.

Read more…

Sengketa Visual Ruang Publik

Oleh Hairus Salim HS

Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 21 September 2011

Ketegangan antargolongan, yang dalam banyak hal bisa meningkat menjadi konflik, yang terjadi belakangan ini di tanah air boleh dikatakan meningkat, bukan berkurang, meluas bukan menyempit. Jika sebelumnya ketegangan didasarkan pada soal penyiaran agama atau pendirian rumah ibadah, kini sebab masalah bertambah menyangkut soal visual di ruang publik. Read more…

Penerjemahan Karya Sastra: Pandangan seorang Pembaca

Hairus Salim HS

(Ikhwal penerjemahan sastra telah banyak dibicarakan. Baca misal Anton Kurnia “Penerjemahan Sastra, Sebuah Pandangan”, Horison, Oktober 2012 yang membahas hampir seluruh isu –yang sepertinya tak bergeser—mengenai penerjemahan sastra modern ini. Kajian Doris Jedamsky (2008) dan Maya H.T Liem (2011) memberikan wawasan bagaimana praktik penerjemahan era kolonial dan setelah kemerdekaan, yang tak banyak berubah situasinya dengan masa kini. Lalu sebuah himpunan tebal berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), yang dikumpulkan dan disunting oleh Henri Chambert-Loir, memberikan pengetahuan luar biasa jenis-jenis, problem-problem, dan sumbangan karya terjemahan pada kebudayaan. Rasanya hampir tak ada lagi yang bisa dibahas. Berikut ini sekadar catatan seorang pembaca sastra terjemahan modern dalam bahasa Indoensia). 

———————————————————————————————————

Terlalu sering kita dengar bahwa karya terjemahan merupakan karya tersendiri, yang mesti mendapatkan apresiasi tersendiri pula. Dan ini ungkapan klise yang lain: melalui jasa para penerjemahlah, kita mengenal karya-karya sastra dunia.   

Meski demikian, tak ada penghormatan yang memadai terhadap karya sastra terjemahan. Penghargaan-penghargaan sastra sama sekali tidak meliriknya dan mungkin menganggapnya sepi. Tidak ada undangan khusus kepada penerjemah untuk membincangkan sekaligus mempertanggungjawabkan karya terjemahannya.

Tapi para penerjemah sendiri rupanya tidak begitu percaya diri. Hal ini terlihat dari jarangnya ‘mereka’ mencantumkan nama sebagai penerjemah di sampul depan sebuah buku sastra terjemahan. Di antara yang sedikit bisa disebut misalnya NH Dini, Nin Bakdi Soemanto dan A.S. Laksana. Masing-masing ketika menerjemahkan Sampar (Albert Camus), The Name of the Rose (Umberto Eco) dan Daerah Salju (Yasunari Kawabata). Umumnya nama penerjemah tertulis kecil di dalam halaman kredit titel. Tanpa riwayat, tanpa penjelasan. Atau sekadar tertera di halaman dalam, dengan nada yang agak malu-malu.   Read more…