Skip to content

Khitah, Islah, Tabayun, dan NU

August 6, 2015

Hairus Salim HS

(Versi Lengkap dari yang dimuat di Koran Tempo, Senin, 3 Agustus 2015)

Teman saya baru-baru ini kirim peran singkat. “Besok saya pulang ke kampung. Saya mau kembali ke khittah saja. Pamit. Mohon doanya.” Yang dia maksud kembali ke khittah (dengan huruf ‘t’ ganda) adalah menjadi pedagang sebagaimana tradisi keluarganya dan meninggalkan profesi penulis yang selama beberapa tahun terakhir digeluti.

Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952) belum memasukkan kata khitah ini. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) sudah memasukkannya dengan mengartikan khitah sebagai: 1 cita-cita; 2 langkah; rencana; 3 tujuan dasar; garis haluan; landasan perjuangan; kebijakan.Jadi dari mana dan bagaimana riwayat kata ini masuk ke perbendaharaan Bahasa Indonesia? Bisa jadi kata ‘khitah’ masuk ke perbendaharaan Bahasa Indonesia atas ‘sumbangan’ NU secara tidak sengaja melalui dinamika organisasinya yang mendapat liputan media.

Begini ikhwalnya. Menjelang Pemilu 1982, NU –yang kala itu masih menjadi partai dan bagian dari fusi di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—mengajukan nama-nama tokohnya sebagai caleg. Namun sebagian besar nama tokoh ini dicoret dan digantikan nama-nama baru dari luar NU. Terjadilah konflik antara NU dan Parmusi, dua unsur dalam fusi PPP di satu pihak. Di pihak lain konflik yang lebih sengit pecah antara Ketua NU K.H. Idham Chalid dan pendukungnya (yang kemudian dikenal sebagai ‘kubu Cipete’) dan para kiai yang mengritik kepemimpinannya yang dianggap lemah yang dipimpin oleh K.H. R. As’ad Syamsul Arifin (disebut ‘kubu Situbondo’).

Konflik ini berlangsung panjang dan lama, sehingga sangat melemahkan NU. Di tengah konflik itulah, muncul ide agar NU kembali hakikat pendiriannya yang awal. Ketika didirikan tahun 1926, NU bukanlah partai politik tapi organisasi sosial-keagamaan dan berkhidmat pada masalah sosial-keagamaan. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai kembali ke ‘Khittah 1926’, yang artinya NU bukan lagi partai politik, keluar dari PPP, dan kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan. Urusan politik akan diserahkan ke individu masing-masing.

Sejak itu, kata khitah, dengan ‘t’ tunggal’, kondang di masyarakat. Beberapa kalangan sering menggunakannya untuk menunjukkan pengertian sebagaimana yang diterakan dalam KBBI di atas.

Tetapi mungkin bukan hanya kata khitah ini saja sumbangan NU secara tidak langsung pada perbendaharaan Bahasa Indonesia ini. Ada juga kata islah, yang seperti juga kata khitah, tidak ada dalam kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952). Kembali dinamika NU tahun 1990an penting ditengok.

Sepanjang tahun 1980an hingga 1990an, kegamangan menghadapi politik negara, membuat NU terseret dalam beberapa konflik internal. Abdurrahman Wahid yang menjadi pemimpin muda NU yang kritis terhadap negara banyak bertentangan dengan para kiai yang cenderung menjaga hubungan baik dengan negara. Pertentangan ini makin berlipat ganda karena gaya intelektual Wahid yang ceplas-ceplos. Tetapi selalu ada upaya untuk mendamaikan dan mempertemukan Wahid dan para kiai atau tokoh yang berbeda dengannya. Para kiai yang biasa berperan sebagai ‘penengah’ antara Wahid dan para penentangnya ini tidak menggunakan kata ‘berdamai’ atau ‘rekonsiliasi’. Mereka menggunakan kata islah dan kata inilah yang banyak dipakai jurnalis yang meliput saat itu.

Dalam KBBI (1994), Islah merupakan kata benda yang bermakna perdamaian (tt penyelesaian pertikaian dsb). Selain itu, ia juga merupakan kata kerja: meng·is·lah·kan/mendamaikan.

Berikutnya mungkin kata ‘tabayun’. Di sepanjang dasawarsa tahun 1990an itu juga, berkait dengan tingkah dan gaya Wahid yang membingungkan, sehingga menimbulkan banyak salah paham, maka banyak tuntutan agar Wahid memberikan penjelasan atau klarifikasi. Tapi dua kata itu jarang dipakai, yang dipakai adalah kata ‘tabayun’. Karena itulah, ketika kami mengumpulkan dan menerbitkan wawancara-wawancara Wahid di berbagai media, kami memberi judulnya ‘Tabayun Gus Dur (1998), maksudnya adalah penjelasan-penjelasan atau krarifikasi-klaririfikasi Gus Dur.

Dalam KBBI (1994), kata tabayun belum masuk. Tapi dalam KBBI online, kata ini sudah nongol dengan pengertian: 1 pemahaman; penjelasan: sebelum mengkritik kita perlu mendapatkan –; 2 perbedaan; ikhlilaf; kontradiksi: ada — antara kedua pendapat itu.

Demikianlah, sebagai bahasa yang masih muda, Bahasa Indonesia terus menyerap dari bahasa asing (Arab, Inggris, dan lain-lain) atau bahasa daerah (Jawa, Melayu, dan lain-lain). Ketiga kata itu dalam KBBI diberitanda ‘Ar’, artinya berasal dari Bahasa Arab. Jelas ini bukan merupakan fenomena baru. Dalam periode sejarah tertentu, banyak sekali kosakata bahasa Arab masuk ke dalam Bahasa Melayu, dan kemudian Bahasa Indonesia. Sekarang proses itu terus berlangsung, seperti tiga kata ini menunjukkan, NU memainkan peran secara tidak langsung.

Saya menggunakan kata ‘mungkin’ atau ‘bisa jadi’ dalam arti ini baru hipotesis. Perlu penyelidikan lebih lanjut dan seksama.

From → Kertas Kerja

Leave a Comment

Leave a comment