Skip to content

“Sekadar Melihat” atau “Melihat Ke dalam”: Catatan Sesrawungan1 Wang Sinawang

March 19, 2017

Hairus Salim HS

Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM menyelenggarakan acara Sesrawungan1 Wang Sinawang, yang berlangsung di PPKH sejak 16 – 30 November. Dalam kegiatan ini mereka mengundang dan melibatkan komunitas-komunitas keagamaan: khat (khilafah art networks), sebuah kelompok seni yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI); Seni Rupa Kristen Indonesia (Seruni), sebuah kelompok para perupa Kristen-Katolik; Narayana Smrti Ashram, sebuah kelompok Hindu yang memuja Krishna; Konghucu; Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit, kelompok seni Katolik yang berbasis kampung; dan Budha Meitriya, suatu aliran di dalam agama Budha. Kelompok-kelompok ini diajak menggelar pameran, pertunjukan dan diskusi, selama beberapa hari.

Cara bekerjanya: komunitas-komunitas keagamaan itu diundang untuk menggelar pameran atau pertunjukan. Kemudian mereka diminta untuk mempresentasikannya dalam sebuah sessi diskusi.

Seluruh komunitas kemudian menampilkan ‘siapa mereka’ di dalam sebuah ruang pameran yang telah dirancang oleh tim artistik. Setiap komunitas memiliki satu stand yang ukurannya kurang lebih sama, kecuali mungkin komunitas Khat yang mendapat 2x ukuran. Masing-masing komunitas menampilkan properti keagamaan mereka, baik untuk tujuan ritual-ibadah, pengajaran maupun kampanye (penyebaran agama). Ada yang menampilkan diri sangat kompleks, dan ada yang sangat sederhana dan terbatas saja. Mengapa demikian? Dugaan saya karena memang komunitas-komunitas ini tidak sama dan sejajar dalam status sosial-budaya dan keagamaan mereka. Karena itu, mungkin bisa dimengerti jika dalam pertunjukan, hanya dua komunitas yakni Hare Krishna yang menampilkan musik doa dan Budha Meitriya yang menampilkan pembacaan puisi dan tari-tarian, plus komunitas khat menampilkan pembacaanpuisi yang diiringi doa serta pertunjukan wayang singkat komunitas Bhuana Alit masing-masing sebelum sessi diskusi mereka.

Di luar itu, ada komunitas Saksi Yehova yang juga turut diundang. Tetapi, menurut keterangan panitia, seminggu sebelum pelaksanaan mereka mengundurkan diri karena tak beroleh izin dari Jakarta. Para pemimpin di Jakarta, memandang acara ini tak sesuai dengan misi keagamaan mereka. Sayang sekali.

Dari perspektif hubungan dan dialog antaragama, apa yang dilakukan PKKH ini sangat baru dan menarik dalam tiga hal; 1. Mereka mengundang kelompok-kelompok yang tidak lazim atau bukan arus utama dalam kegiatan dialog selama ini, 2. Mereka menjadikan ‘kesenian’ sebagai media dialog tersebut; dan 3). Kenyataannya, mereka tidak begitu asing dengan seni. ‘seni’ merupakan unsur dari kegiatan atau properti keagamaan mereka.

 

Sekadar Melihat dan Melihat ke dalam

Saya salut dengan inisiatif tim artistik yang membuat setiap stand pameran itu sebuah kain tipis tembus pandang. Jadi setiap komunitas keagamaan ini dibayangkan sebagai suatu kelompok yang memiliki batas-batas –bagaimanapun kain tipis itu adalah marka pembatas–, tetapi karena kain itu bersifat tembus pandang, maka masing-masing juga bisa dilihat dari luar, membuka diri untuk dipandang, bisa disaksikan, meski tidak harus masuk ke dalam. Proses melihat dari luar ini saya sebut sebagai ‘sekedar melihat’ dan sementara yang berusaha masuk ke dalam mencoba ‘melihat lebih dalam’.

Kebetulan bentuk ruangan persegi empat yang tak terlalu besar di lantai 2. Jika kita berdiri di tengah, pandangan mata kita bisa melihat seluruh ruang dengan sekali putar kepala saja. Saya memperhatikan para pengunjung yang datang pada malam pembukaan. Ketika mereka naik tangga itu, belum seluruhnya tiba, mereka sudah akan melihat di sebelah kanan (utara) stand khat yang menyolok mata dengan bantangan kain bertuliskan ‘kalimah syahadat’. Namun jika pandangannya dialihkan ke kiri, dia segera akan melihat stand Hare Krisna dengan poster-poster pemimpin dan Sanggar Buana Alit, dengan anak-anak wayang khas wayang wahyu. Terpana sebentar. Lalu dia akan naik lagi dua tiga anak tangga. Berdiri dan memutarkan pandangannya ke sekeliling ruang. Dalam waktu sepersekian detik, ia melihat stand konghucu dengan altar dan kaligrafi Cinanya, Budha Meitriya dengan arca-arca Budhanya dan Seruni dengan lukisan-lukisan Jesus dengan berbagai wajah di atas kanvas terpampang di dinding.

Dengan posisi pintu di tengah-tangah, membuat setiap pengunjung akan menjadi penonton praktis ‘sekadar melihat’, meski dia mungkin tidak ingin melihat yang lain. Catatan mungkin khusus untuk stand khat yang kemudian menutupi setting kain tipis itu dengan kain hitam bertuliskan ‘kalimat syahadat’. Proses ‘sekadar melihat’ ini mungkin akan tertunda dan tidak akan terjadi.

Saya melihat bagaimana pola para pengunjung ini. Jika mereka datang karena misal untuk melihat khusus stand khat, maka mereka belok kanan dan segera langsung menuju stand tersebut. Mereka akan masuk dengan ringan, karena sudah ada yang mereka kenali atau simbol-simbol yang mereka lihat sudah mereka akrabi. Mereka masuk, melihat-lihat, berbincang-bincang, keluar, memberikan catatan kesan di pintu keluar stand. Setelah itu, mereka biasanya akan langsung pulang. Stand-stand lain tidak mereka kunjungi, dan ‘sekadar melihat’ saja. Tentu mereka akan tahu ini adalah sebuan ‘pameran’, tapi entah mengapa mereka tidak ingin memasuki stand yang lain.

Pola pengunjung kedua, mereka akan belok kiri dan masuk ke stand Bhuana Alit, melihat-lihat anak wayung dengan heran, memotret-motret. Lalu mereka masuk ke stand Hare Khrisna, berjalan mengelilingi stand-stand yang lain, Konghucu, Budha Meitriya, dan Seruni. Memotret-motret, mengamati, atau ber-selfie di situ. Sekarang tibalah mereka di stand khat. Mereka berdiri terpana. Memandang dengan rasa ragu dan masygul. Mungkin mereka ingin masuk, tapi tampilan ‘ada sesuatu’ yang menghalangi mereka. Apalagi pada malam pembukaan itu, stand khat meminta untuk mencatatkan identitas diri untuk masuk ke stand. Akhirnya, setelah berdiri sebentar, dengan pandangan heran, mereka kemudian memutuskan untuk keluar. Pulang.

Lalu ada pola pengunjung ketiga. Mereka bisa masuk langsung ke sebelah kiri bisa juga sebelah kanan. Tergantung kecenderungan dan tarikan alam saat itu. Kemudian mereka mengelilingi semua stand. Dengan rasa kagum, heran, bertanya-tanya, suka, dan entah apa lagi, tapi juga dengan rasa enteng, nyaman, ringan dan sebagainya.

Demikianlah, menurutku, itulah tiga  pola pengunjung pameran ini. Mana yang terbesar, entahlah, saya tidak bisa menghitung secara kuantitatif. Namun bagaimana ‘orang menonton pameran’ ini telah menjadi peristiwa tersendiri bagi saya.

Tentu akan sangat menarik jika kita bisa mendengarkan bagaimana para pelaku pameran ini, yakni para ‘true believers’ kelompok-kelompok keagamaan ini memandang diri mereka yang telah menyediakan ruang dan menyediakan diri untuk dipandang orang lain. Lalu bagaimana mereka memandang orang lain. Bagaimana proses “wang-sinawang” sebagaimana tema pameran ini berlangsung.

Mungkin yang menjadi kasus menarik tetap stand Khat. Antara mereka ‘membuka diri’ itu seperti  bersamaan dengan mereka ‘menutup diri.’ Mereka ingin semua orang untuk masuk ke stand mereka, mengerti dan mengetahui mereka, dan mungkin mengikuti pikiran mereka, tapi pada saat yang sama, tampilan stand mereka sedikit banyak menghalangi keinginan itu. Seorang teman berkata, dengan melihat bentangan kain hitam bertuliskan kalimat syahadat, dengan jenis huruf Arab tsuluts itu saja, orang sudah tahu apa yang ada di dalamnya. Harus diakui kain hitam dengan tulisan seperti itu memang ‘ikonik’, karena kerap dibawa dalam protes-protes demontrasi dan igerakan-gerakan sosial berbasis Islam di berbagai tempat.

Pada pintu ke luar di sebelah selatan, tim artistik meletakkan satu panel, berisi penjelasan bahwa semestinya ada Saksi Yehova –suatu sekte di dalam Kristen yang sering tidak diakui oleh kalangan arus utama dalam Kristen– turut dalam pameran ini, tapi karena arahan pimpinan mereka di Jakarta, mereka kemudian mengundurkan diri. Penjelasan itu tertera dalam figura hitam dengan tulisan putih, disorot lampu penerang dan juga ditutup kain tembus pandang. Menurut panitia, mereka tidak masalah dengan penjelasan tersebut. Artinya, ini pada dasarnya juga sebuah stand. Mereka ‘menutup diri’ untuk dilihat tapi dengan membiarkan stand kosong dengan tulisan itu, mereka sebenarnya ‘membuka diri’ untuk dilihat. Silahkan lho! Bisa dicari di website siapa kami atau tanya kepada yang tahu!

 

Art by appropriation/metamorphosis vs Art by intention/ detination

Sebagian peserta mengaku tidak memiliki “kesiapan” untuk ikut pameran ini. Bagi saya kesiapan di situ harus dikasih tanda petik dalam arti mereka tidak membayangkan artefaks-artefaks keagamaan mereka dijadikan sebagai ‘benda pameran’, sebagai suatu benda seni, yang boleh ditatap dan dinilai juga secara artistik. Dalam arti itu, ‘seni’ di situ lebih bermakna ‘ by appropriation/metamorphosis’, yakni  objek-objek yang diciptakan untuk tujuan yang berbeda atau untuk mengedepankan nilai-nilai, terutama bukan artistik. Statusnya menjadi ‘seni’ setelah dipamerkan oleh museum, galeri, ruang pamer, dll. Demikianlah yang terjadi pada artefaks-artefaks keagamaan yang dipamerkan dalam sesrawung wangsinawang ini.

Kehadiran mereka jelas berbeda dengan ‘seni’ sebagai ‘by intention/ detination’, yakni artefaks yang diciptakan untuk tujuan yang sudah jelas dari awal dan mereprensentasikan dan dianggap sebagai seni sebagaimana kita kenal selama ini di museum, galeri, dan pasar seni.

Ketegangan inilah yang berlangsung dalam ruang pameran ini. Di satu pihak, kita memperlakukannya sebagai seni, karena apapun yang dipamerkan di ruang pameran dengan sendirinya seni. Sebagai objek seni, kita bebas untuk menafsirkannya. Tetapi di pihak lain, kita juga sadar dan pandangan kita dibayangi oleh kenyataan bahwa artefaks-artefaks itu merupakan perangkat keagamaan. Kita tak bisa menafsirkan secara bebas. Orang-orang yang mey akininya ada dan berada di sekitar kita. Di sinilah pentingnya dialog, wang sinawang, sesuatu yang sayang tidak terjadi secara intensif.

 

Melihat dalam Perbedaan

Meski satu sama lain tidak setara dan sejajar dalam pengertian sebagai suatu kelompok, juga persiapan yang berbeda-beda, tapi marilah kita perhatikan artefaks keagamaan apa saja yang mereka pamerkan dalam suatu perbandingan. Saya membuat daftar secara sederhana seperti di bawah ini:

  Huruf ritual   Properti seni
Komunitas Latin Arab Cina arca altar kitab lukisan foto musik kaos instalasi wayang
Bhuana                        
Hare                        
Meitrya                        
Khat                        
Khonghucu                        
Seruni                        

 

Tanda hijau di atas menunjukkan apa yang dipamerkan oleh kelompok-kelompok keagamaan ini. Dari situ tampak persamaan tapi sekaligus perbedaan. Penggunaan huruf latin dilakukan semua kelompok, baik untuk menjelaskan identitas maupun untuk menerangkan sebuah ajaran. Kelompok seperti Budha Meitriya dan Khonghucu menggunakan huruf Cina di samping karena ajaran dari sana, juga kenyataan pemeluknya kebanyakan warga keturunan Tionghoa. Hal ini membawakan refleksi mengapa hubungan mereka dengan aksara (dan kebudayaan) Cina ini tidak membawakan pertanyaan problematis hubungan (sebagian kelompok) Islam dengan Arab?

Suatu hal yang perlu dipahami adalah hubungan ‘kata’ dan ‘image’. Budaya visual, termasuk dalam budaya visual keagamaan, selalu bercampur dengan budaya verbal. Dalam tradisi keagamaan, ‘kata’ memiliki hak istimewa di atas ‘citra’. Apakah kata akan selalu sesuai dan cocok dengan  image? Apakah image memerlukan kata? Apakah kata memerlukan image? Bagaimana kalau kata tidak sesuai dengan image atau sebaliknya?

Sementara itu aksara Arab jelas dipakai Khat, tapi yang tak banyak diketahui, di stand Hare Khrisna ada Bhagawat Gita dalam versi Arab. Dari sini saja terlihat bahwa ‘arab’ tak melulu dan identik dengan Islam. Mereka yang luas pikniknya, akan tahu bahwa para pemeluk Kristen di Arab menggunakan kitab perjanjian dan juga khotbah dalam Bahasa Arab.

Pada tahap berikutnya, jelas sekali bahwa hampir keseluruhan stand menampilkan tokoh keagamaan dalam bentuk visual dua dimensi maupun tiga dimensi.  Tokoh-tokoh yang ikonik seperti Budha, Khrisna, Khonghucu dan Jesus. Bagi kelompok-kelompok ini, visualitas tokoh-tokoh ikonik bisa menjadi sarana dalam meditasi, untuk menghimpun konsentrasi. Jiwa dan pikiran semestinya harus terus bersatu, tetapi kepentingan duniawi membuat pikiran terpisah dan pecah berkeping-keping. Meditasi dengan wahana visual-visual tokokh-tokoh ikonik akan membantu untuk konsentrasi penyatuan jiwa dan pikiran yang telah terpisah dan terberai berkeping-keping.

Ini berbeda dengan Khat, yang seperti pemahaman Islam arus utama, keras memandang bahwa tidak boleh ada pelukisan terhadap makhluk hidup. Visualisasi itu akan berakibat menjadi pemujaan  dan menyelewengkan tujuan ibadah kepada Tuhan. Karena itu mereka bermain dalam lukisan abstrak, gaya dekoratif, kaligrafi dan lain-lain.

Sisanya adalah seni terapan, seperti kaos, poster, foto dan lain-lain, yang banyak ditampilkan Khat. Dari sana tampak bagaimana ‘seni’ itu diberdayakan oleh Khat untuk mencapai tujuan. Seni sebagai alat dan wahana.

 

Penutup

Sesrawung wangsinawang ini sekali lagi merupakan arena yang menarik. Banyak orang bisa melancong ke mana saja, tapi belum tentu mau atau sempat berkunjung ke kelompok-kelompok keagamaan. Ibadah adalah kegiatan privat. Bukan tontonan bagi setiap orang, karena itu kalau pun kita ingin dan sempat, belum tentu sebuah rumah ibadah terbuka untuk dilihat dan bersedia diperlakukan seperti benda-benda turisme.

Saya sendiri memperoleh banyak wawasan dan pengetahuan dari acara ini. Saya jadi tahu ada Seruni, sekelompok perupa Kristin-Katolik yang berkhidmat melukis di bawah terang iman kepada Jesus. Mereka menolak disebut kegiatan ini sebagai komersialisasi. Mereka menganggap ini sebagai karya pelayanan. Saya juga jadi tahu ada Hare Khrisna, yang berbeda dengan Hindu Bali yang selama ini saya kenal. Saya juga jadi mengenal Budha Meitriya dengan pandangannya terhadap Budha yang selalu lahir dan visualisasinya yang konstektual. Salah satu ciri visualisasinya adalah Budha yang selalu tersenyum dan satu di antaranya memegang mikrofon. Apakah nanti akan ada Budha yang memegang gadget?

Saya juga jadi tahu kelompok Khat, yang merupakan bagian dari HTI, memiliki konsepsi seni Islam yang khas dan berjuang untuk mewujudkan kesenian yang mereka bayangkan tersebut. Seni bagi mereka ibadah, sekaligus jalan untuk mencapai dan menunjang tujuan yang lebih besar: yaitu terbentuknya khilafah, kemaharajaan Islam sedunia.

Bagaimanapun munculnya kelompok seni di dalam HTI amatlah menarik. Dinamika internalnya mungkin akan bergerak dan berubah.  Apalagi beberapa pendukungnya adalah mereka yang terpelajar secara akademis dalam bidang seni. Sebagian seniman sekaligus akademisi seni. Seni bagaimana pun mengandaikan kreativitas dan inovasi, pencarian dan pengucapan pada hal-hal baru, bahkan yang tak pernah terbayangkan. Seni berbeda dengan agama, yang dianggap jelas dan pasti. Nah akan menarik melihat perkembangan ini: apakah ‘seni’ yang diolah di situ akan menjadi “pintu masuk” atau jangan-jangan “pintu keluar?”

(Catatan: bahan diskusi penutup acara sesrawung1 wang sinawang)

 

From → Uncategorized

Leave a Comment

Leave a comment